Kau tentu pernah bertemu dengan lelaki berkening hitam. Hitam tidak secara keseluruhan, melainkan hanya pada bagian kening tengah atas di antara dua alis, persis dibawah ujung rambut bagian depan. Tepatnya, bagian kening yang digunakan untuk mencium sajadah setiap kali solat.
Apa yang kau pikirkan ketika melihat lelaki berkening hitam seperti itu ? Tentu kau akan berkesimpulan, bahwa lelaki tersebut adalah lelaki yang alim, lelaki yang rajin mencium sajadah, lelaki yang tak pernah meninggalkan solat lima waktu, lelaki yang rajin bangun malam-malam untuk tahajud dikala orang lain molor di tempat tidur.
Lelaki berkening hitam tidak hanya ditemukan di masjid-masjid. Kau bisa menemukan di kampus, di kantor, pasar tradisional, kantor pos, bahkan mungkin di mal-mal. Bisa jadi dia seorang dosen, kyai, mahasiswa, pedagang, sopir angkutan kota, atau profesi lainnya.
Dan tahukah kau, malam ini, Markum, seorang pelajar berotak pas-pasan sebuah SMA swasta di Jakarta, saat ini tengah memikirkan keningnya yang tidak hitam. Markum bingung luar biasa. Bukan apa-apa, belakangan ini dia tak pernah meninggalkan solat lima waktu. Dia selalu mengerjakan solat sunat, baik sunat bakdiah maupun sunat qobliah. Bahkan, setiap kali solat, Markum sengaja menekan-nekan bagian ujung keningnya supaya bisa hitam. Namun, tetap saja tidak pernah menjadi hitam.
Kau tentu paham maksudnya. Markum ingin sekali punya kening hitam, seperti kening lelaki berkening hitam yang ia temukan di berbagai tempat. Keinginan punya kening hitam ini bermula ketika ia bertemu dengan seorang gadis bernama Elliza. Elliza adalah gadis cantik berkerudung, putri tunggal seorang guru agama di sekolahnya. Hanya saja, Elliza bersekolah di ibtidaiyah.
Pertemuan Markum dengan Elliza terjadi secara tidak sengaja. Waktu itu Markum mengantar Pak Habiburahman Saerozi, guru pendidikan agama Islam lulusan Mesir yang tak lain wali kelasnya, pulang dari mengajar. Pak Habib menyuruh Markum mampir sebentar untuk minum.
Markum, dengan senang menuruti kemauan Pak Habib yang baik hati. Saat itulah Markum melihat Elliza, yang membawa minuman untuknya. Pak Habib pun memperkenalkan Markum pada putrinya itu, dan juga keponakan laki-lakinya, serta istrinya. Istri Pak Habib perempuan Mesir. Berwajah Arab dengan hidungnya yang mancung. Wajah Elliza mirip sekali dengan ibunya.
Saat bertemu itulah Markum merasa tertarik ingin menjadikan Elliza seorang teman dekat. Tetapi tentu tidak mudah mewujudkan keinginannya itu. Markum pun melakukan berbagai usaha. Di antaranya adalah, menjadi cowok yang alim. Cowok yang tekun ibadah.
Kau tentu sulit membedakan, siapakah di antara anak-anak lelaki yang rajin ibadah atau tidak? Dan Markum berkesimpulan, bahwa lelaki yang bisa disebut alim adalah lelaki yang rajin solat. Lalu, bisakah orang lain menentukan apakah seorang cowok seperti dirinya rajin solat atau tidak. Hmmm… lihat saja keningnya!
Markum selalu membayangkan seandainya keningnya bisa menjadi hitam, seperti seoarang lelaki yang rajin solat. Pak Habib, guru agamanya yang sangat baik hati itu, keningnya hitam. Keponakan laki-laki Pak Habib, keningnya juga agak hitam. Kenapa kening Markum tidak bisa hitam?
Selain berkening hitam, masih menurut Markum, lelaki yang bisa dicirikan sebagai orang alim, adalah lelaki yang berjenggot. Tetapi janggut Markum tak tumbuh jenggot. Licin. Seperti kepala profesor yang botak. Seandainya jenggotnya lebat, ditambah lagi keningnya menghitam, oh… Markum pasti akan senang sekali. Sayang beribu-ribu sayang, semua itu hanya mimpi.
Untuk mewujudkan keinginannya, Markum pun berencana melakukan berbagai cara. Salah satunya, setiap malam, Markum akan menempelkan jidatnya di lantai, dengan kedua kaki berada di posisi atas, menempel di tembok. Namun untuk melakukannya tidak semudah yang dibayangkan. Masalahnya, orang-orang rumah selalu iseng bertanya padanya, mengapa ia melakukan hal itu.
”Bang Markum, Abang lagi ngapain?” tanya salah satu adiknya, ketika Markum mulai menempelkan keningnya di lantai, dengan posisi kedua kaki menempel di dinding.
Markum pun menjawab, bahwa ia sedang olahraga senam.
”Senam apa?!!”
Senam apa? Markum jadi bingung. Tapi Markum tidak hilang akal, ”Ini namanya senam keseimbangan!” jawabnya kemudian. Adiknya yang bertanya mengangguk-angguk. Di kemudian hari, setiap kali Markum melakukan hal yang sama, yakni ’senam keseimbangan’ itu, adiknya latah ikut-ikutan.
Setelah kurang lebih dua minggu melakukan kegiatan seperti itu, tidak disangka-sangka, kening adiknya menjadi hitam! Boleh jadi, kening itu sering menempel di lantai, menjadi tumpuan beban tubuhnya yang berada di atas saat melakukan gerakan senam asal-asalan itu.
Meskipun begitu, tidak bagi Markum. Kening Markum ya tetap begitu-begitu saja. Tidak hitam sama sekali seperti kening adiknya. Mengetahui keningnya menjadi hitam, adiknya menjadi marah pada Markum.
”Bang, ini kening Markam kok jadi item?” protes Markam, adiknya Markum.
”Salah kamu sendiri! Kenapa ikut-ikutan senam itu?”
”Wah, gimana dong, Bang? Markam jadi malu nih…”
”Biarkan saja. Nanti juga hilang sendiri!”
Benar saja, setelah tidak lagi melakukan senam itu, kening Markam tidak jadi hitam. Tapi aneh bagi Markum, meskipun masih melanjutkan gerakan-gerakan senam itu keningnya masih juga belum hitam.
Suatu malam, saat tengah sendirian di kamarnya, Markum pun menatap keningnya di cermin, sambil tangannya memegang pisau dapur. Apakah yang hendak Markum lakukan??!
”Kenapa keningku masih tetap nggak bisa hitam?” tanya Markum pada dirinya sendiri.
Markum meraba-raba ujung keningnya itu, membayangkan seandainya bisa menjadi hitam. Lalu ia tatap pisau di tangan kanannya, dan menempelkannya di kening. Rupanya, Markum berniat untuk melukai keningnya dengan pisau, agar menjadi luka. Dengan begitu, kemungkinan kening menjadi hitam bisa terwujud dari luka keningnya nanti. Demikian pikir Markum.
Belum sempat melukai keningnya, Ibunya membuka pintu kamarnya yang tidak terkunci, membuat Markum terkejut.
”Markum! Kamu lagi ngapain?”
”Eee… eee….” Markum gugup. Ibunya menatap pisau dapur di tangan Markum dengan tatapan menyelidik.
”Bu, Markum lagi mencukur jenggot…” ucap Markum kemudian, sambil mengarahkan bagian pisau yang tajam ke dagunya. Ibunya bertambah bingung.
”Cukur jenggot? Memangnya kamu punya jenggot?!”
”Baru mulai tumbuh, Bu.”
”Kalau kamu mau mencukur jenggot, kenapa nggak pakai cukur jenggot Ayah?”
Markum terdiam, lalu menurunkan pisaunya.
”Tunggu sebentar ya, akan Ibu ambilkan.”
Ibu Markum keluar. Tak lama kemudian ibu Markum sudah kembali sambil memberikan alat cukur pada Markum. Setelah itu ibu Markum keluar lagi. Markum memegangi alat cukur jenggot itu, lalu menatap wajahnya di cermin sambil menempelkan cukur jenggot ke dagunya. Apa yang akan ia cukur, sementara dagunya tak tumbuh jenggot?
Pekan berikutnya, ketika keningnya masih belum bisa jadi hitam, Markum mendapat undangan dari Pak Habib. Pak Habib mengundang Markum berkenaan perpisahan Pak Habib yang sudah tidak lagi mengajar di sekolah Markum. Pak Habib pindah mengajar di sekolah lain.
Ini merupakan kesempatan emas buat Markum. Markum merasa menjadi sangat terhormat. Markum tidak akan menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Sebelum berangkat ke rumah Pak Habib, Markum mempersiapkan dirinya sebaik mungkin. Pikir Markum, di rumah Pak Habib nanti, Markum tidak hanya bertemu dengan Pak Habib saja. Ada istrinya, sepupunya, dan tentu saja putrinya yang cantik, Elliza!
Markum berpikir keras bagaimana ia bisa mempersiapkan diri sebaik mungkin. Aha! Markum punya akal. Markum yakin usahanya kali ini tidak akan gagal, yakni bagaimana membuat keningnya menjadi hitam. Kening seorang laki-laki alim. Markum meraih spidol di meja belajarnya. Dengan gerakan yang sangat hati-hati, Markum memoles keningnya dengan spidol itu. Hitam!!
Kini kening Markum benar-benar hitam, layaknya kening laki-laki yang rajin solat! Dengan bangga, Markum pun segera berangkat ke rumah Pak Habib. Tak peduli orang-orang di rumah pada keheranan, Markum dengan percaya diri siap menghadapi undangan Pak Habib dan keluarganya.
Di rumah Pak Habib, Markum disambut dengan ramah. Menurut Markum, keluarga Pak Habib tidak bersikap aneh seperti orang-orang di rumahnya, soal keningnya yang hitam. Markum duduk di dekat Pak Habib, di antara sepupu Pak Habib, istrinya, dan Elliza. Mereka bercakap-cakap seputar kehidupan dan kegiatan masing-masing.
“Keluarga Pak Habib sekarang sudah tahu, bila keningku ini hitam,” ucap Markum dalam hati, ketika tengah bersama-sama keluarga Pak Habib.
Betapa bangganya Markum, memperlihatkan keningnya yang hitam di depan Pak Habib sekeluarga. Pasti Pak Habib dan keluarga sekarang tahu, bahwa dirinya lelaki yang alim, karena berkening hitam.
Menjelang maghrib, sebelum makan malam, Pak Habib mengajak semua orang untuk solat maghrib. Dengan semangat empat lima, Markum bangkit dan segera mengambil air wudlu. Ini pertama kalinya bagi Markum, solat berjamaah dengan keluarga Pak Habib.
Saat selesai mengambil wudlu, Markum merasakan sesuatu yang aneh. Air di lantai kamar mandi menjadi hitam. Markum mendapati telapak tangannya juga hitam. Markum menatap wajahnya di cermin kamar mandi, dan keningnya yang tadi hitam perlahan luntur. Markum mengusap keningnya. Tidak lagi hitam!
Markum pusing, karena saat itu ia tidak akan mampu mengembalikan hitam di keningnya. Markum kebingungan. Bila kau menjadi Markum, tentu kau juga akan bingung. Tapi aku yakin, kau tentu tak akan bertindak sebodoh Markum.
Dan tahukah kau, siapakah Markum sesungguhnya? Markum tak lain adalah aku!
Mengingat kejadian itu, aku suka tersenyum sendiri. Aku tidak mau menceritakan bagaimana sikap Pak Habib dan keluarganya waktu itu, setelah melihat aku tak lagi berkening hitam. Aku malu menceritakannya.
Kau tak perlu risau, sekarang aku sadar. Aku tak harus berkening hitam. Tetapi aku semakin rajin solat. Hanya Tuhan yang tahu. Tanpa ada tanda-tanda pada diriku, atau terlihat oleh manusia lainnya, bahwa aku lelaki yang sering mencium sajadah, baik siang maupun tengah malam.
Pamulang Barat, Banten, 22 Maret 2006.
Diambil dari Majalah Annida.
Penulis : Zaenal Radar T.
[+/-] |
Kening Hitam |
[+/-] |
Antara Kansas dan Bogor, Ada Cinta Bersemi |
Grace menatapku dengan kesal dan marah. Wajah cantiknya menyiratkan ketidakrelaan. Gadis Menado yang setahun ini jadi pacarku, tiba tiba saja merasa seperti tersengat listrik, saat aku memberitahu akan mengisi summer holiday ke Bogor.
“Bogor? You are so crazy!” Grace terbelalak. “Mau apa kesana?! Kota macet seperti itu!”
“Memangnya, kamu pernah kesana?”
“Yah, lewat sajalah! Waktu itu aku ada pesta di Puncak! Lewat kota itulah! Macetnya minta ampun!”
“Tapi, aku mesti ke Bogor!”
“Aku heran saja! Bagaimana bisa? Kalau Bali, that’s okay! But, ini Bogor! Mimpi apa kamu semalam? Apa istimewanya Bogor?”
“Aku ingin melihat negeriku, Honey.”
“Damn! Ini tidak masuk akal. Pasti ada alasan lain!”
Aku diam saja. Memang ada alasan lain. Tapi tidak akan aku beritahu dia. Bisa perang dunia keempat.
Grace gelisah. Tubuh bagian atasnya yang hanya memakai t-shirt ukuran sedada saja, sehingga kulit putihnya terlihat mencolok mata, dikipas-kipas dengan kedua tangannya. Udara bulan Juni di University of Kansas, sangat panas. Berbeda dengan panasnya di kotaku, Surabaya, yang lembab dan mudah berkeringat. Di Kansas sangat panas dan kering. Daun-daun yang mulai menguning, dua bulan lagi tinggal menunggu autum session, akan gugur menimpa areal kampus. Jika sudah musim gugur, suasana kampus akan sangat semarak dan berwarna-warni, karena itu berarti akan dipenuhi dengan beragam pakaian musim dingin. Ini yang aku suka, karena tubuh cewek kampus rata-rata terbalut busana tebal yang unik dan antik. Aku paling tidak tahan, jika pada summer time seperti sekarang ini, kemana saja mata memandang, wuaduuuh…
“Bogor..,” Grace menggelengkan kepalanya.
“Malu ‘kan, sebagai warga Indonesia, aku belom pernah ke sana!”
Beberapa mahasiswa lalu-lalang di areal Lawrence campus. Yang lelaki bule bertelanjang dada dan memakai celana bermuda. Kaos atau kemejanya diikatkan di pinggang. Beberapa ada yang menenteng skate board. Sedangkan cewek kampusnya memakai tank top. Udara kering. Panas menyengat. Aku dan Grace rebah-rebahan di rumput, di bawah pohon.
“So, kamu tetap tidak mau memberitahu alasannya, kenapa liburan ke Bogor?”
Aku menggeleng.
“Okey, jika itu maumu!” Grace bangkit dan meninggalkanku. Dave, room mate, menertawakanku. Dia juga sama, menyebut aku gila. Dave sendiri sudah punya rencana mengisi summer holiday dengan berjemur di pantai Cancun, Mexico. Kata Dave, cewek Mexico seksi-seksi kalau sudah berbikini di pantai. Apalagi jika berpesta di pantai malam-malam dengan bir dan hasis! Beberapa teman Indonesiaku malah memilih bekerja sebagai pelayan di restoran.
Papaku yang bekerja sebagai diplomat di Chicago juga merasa heran. Bukannya summer holiday diisi dengan jadi bagpacker; keliling Amerika, ini malah berlibur ke Bogor. “Kamu ini ada-ada saja, Feb! Kok, malah ke Bogor! Apa menariknya kota itu!”
Aku tersenyum. “Papa pernah ke Bogor?”
Papa melirik ke Mama. “Pernah nggak, ya?”
“Lewat saja. Sewaktu kita menghadiri seminar di Puncak. Lewat highway…Macetnya minta ampun….”
Grace juga cuma lewat dan macet juga disebutnya. Dari mama lantas meluncur gerutuan-gerutuan, bahwa biang kerok negeri kami memang kemacetan. Itulah yang selalu membuatnya urung pulang; menengok kampung leluhur di Surabaya.
Aku anak tunggal. Papa dan Mama tidak tertarik untuk memberiku adik. Mereka lebih asyik meniti karir. Papa di atase ekonomi, sedangkan Mama aktivis perempuan di mana saja dia berada. Tulisan-tulisannya tentang feminisme ala Asia mewarnai koran-koran setempat. Latar belakang ketimurannya membuat tulisan-tulisannya menarik. Aku pernah membaca tulisannya tentang emansipasi. Mama menyebut tentang sebuah nama, RA Kartini. Aku tidak tahu siapa wanita Jawa yang dijadikan istri kedua itu. Mama menulis, bahwa emansipasi pada dasarnya adalah pemberontakan kaum perempuan pada hegemoni lelaki. Tapi di Indonesia, hal itu hanyalah lip service belaka. Sekedar tren atau bahkan semu. Ah, itu bukan urusanku.
Kadang aku suka menganggap aku ini anak durhaka. Di paspor tertulis warga negara Indonesia, tapi kalau ditanya tentang kebudayaan negeriku, tak aku kuasai. Aku lahir di New Zealand. Kata Papa dan Mama, saat umurku dua tahun, pernah dibawa mereka ke tanah leluhur di Surabaya. Setelah itu, Papa lebih banyak berpindah-pindah ke negara lain sebagai diplomat. Paling lama di India, sekitar lima tahun. Aku menghabiskan masa remaja di New Delhi. Pernah pacaran dua kali dengan gadis India. Setelah itu setahun di Spanyol, Maroko, dan kini di Chicago. Aku sudah setahun di Kansas. Kuliah mengambil jurusan ekonomi. Tak ada waktu untuk pulang ke negeri leluhur. Itu mungkin karena kengerianku saja saat melihat tayangan-tayangan televisi di CNN; bom di mana-mana. Aku sudah jadi warga dunia, yang tak mengenal tanah leluhurnya; Indonesia. Papa dan Mama pernah berjanji, bahwa tahun depan akan berlibur ke Indonesia. Tapi mereka tidak tertarik menghabiskan hari tua di Indonesia. Mereka memilih suatu tempat di Italia.
***
Pesawat American Airways mengepakkan sayapnya, menembus angkasa. Pesawat nanti akan transit dulu di Dallas, lalu San Fransisco. Dari sini pindah pesawat ke Singapore Airlines. Pesawat transit lagi di Taipei, Singapura, dan tujuan terakhir Jakarta, ibu kota negeri leluhurku, yang belom pernah aku injak. Dua puluh dua jam mengambang di udara! Menyebalkan!
Dari kaca jendela, aku melihat Kansas City yang datar; ladang-ladang gandum menyebar di mana-mana. Warnanya kuning keemasan. Aku juga masih bisa melihat air mata Grace menitik di depan pintu masuk MCI – Kansas City International Airport. Aku tadi menghapus air matanya.
“Aku Cuma ke Bogor,” senyumku. “just a week!”
“Aku tahu, seseorang sedang menunggumu disana. A girl!”
“Please, jangan bersikap bodoh! Dewasalah!”
Grace tidak mengangguk. “We’ll see!” dia membalik, “Good bye!”
Aku tidak menjawab. Aku tatap dia sampai menyeberangi jalan dan menuju tempat parkir. Sampai dia masuk ke dalam mobil dan pergi. Mungkinkah ini akhir dari hubungan kami? Grace yang cantik dan manja. Dia tidak beda denganku, jadi warga dunia. Tapi, dia sering pulang berlibur ke Indonesia. Tempat yang paling dia gemari selain kampung halamannya; Menado, adalah Bali. Ke Jakarta? Grace mengacungkan dua jarinya. “ Tidak tahan macetnya!” begitu alasannya.
Burung besi terus menembus gumpalan awan-awan, menyusuri garis langit beribu-ribu mil jauhnya. Ini adalah perjalanan panjang udaraku. Indonesia, oh, Indonesia. Aku datang padamu. Kalau saja bukan karena Nicky, gadis SMA, yang sudah jadi sahabatku selama tiga bulan di internet, aku mungkin tidak akan datang ke Bogor, kota yang katanya sebagai kota satelit Jakarta.
Aku masih ingat, email terakhir yang Nicky kirim : Bogor adalah kota di mana kami bisa berbahagia. Kota hujan. Kota yang penuh dengan pohon tua dan ratusan rusa di istana. Datanglah jika kau mau. Aku akan membuat kamu mencintai negeri leluhurmu.
Ya, itulah rahasia besarku, kenapa aku sangat ingin pergi ke Bogor. Nicky, gadis itu. Papa, Mama, apalagi Grace, tidak aku beritahu soal ini. Konyol. Bahkan Dave, bule dari LA, yang mendambakan gadis Perancis dan ingin bungee jumping di menara Eiffel.
Nicky, entah kenapa aku tertarik ingin menemui gadis itu. Indonesian girl. Aku tersenyum sendiri. Sepanjang hidupku, aku baru berpacaran dengan gadis Indonesia, ya, Grace itulah. Tapi, Grace bukan gadis Indonesia asli. Dia sudah multikultur dan jauh lebih Amerika ketimbang gadis Amerika sendiri. Dan aku merasa bosan berpacaran dengan Grace. Tak ada sesuatu yang bisa mengisi relung hatinya. Hampa. Semu. Seperti jika dia sedang menenggak bir, lalu mabuk sesaat, setelah dibawa tidur, saat bangun, semua selesai. Tak tersisa.
Aku rogoh kantung luar tas punggungku. Ada beberapa lembar email dari Nicky, yang sengaja aku print. Aku baca lagi. Ada satu surat yang membuatku terusik atau merasa terganggu: Kau beruntung bisa mendapatkan apa yang kau mau. Semua fasilitas tersedia. Tapi, sadarkah kau, bahwa uang yang kau dan keluargamu pakai, juga semua keluarga yang bekerja di KBRI-KBRI seluruh dunia, adalah tak sepadan dengan kontribusinya terhadap negeri ini. Kau tahu, betapa beratnya hidup di negeri leluhurmu, yang tak punya status dan kehormatan atau kesempatan seperti yang kau dapatkan. Kau dan keluarga dengan enak menikmati semua fasilitas dari negeri leluhurmu, yang sedang sekarat dan carut-marut. Jika kau lulus kuliah nanti, apakah terpikir akan pulang dan membangun negeri leluhurmu? Aku yakin tidak.
Ada yang mengganjal hatiku. Ada yang membuatku penasaran tentang Nicky, yang wajahnya saja aku tak pernah tahu. Aku coba surfing tentang negeriku, terutama tentang Bogor. Yang aku dapati seperti ini : Kota Bogor secara geografis terletak di antara 106’ 48’ BT dan 6’ 26’ LS, kedudukan geografis Kota Bogor di tengah-tengah wilayah Kabupaten Bogor serta lokasinya sangat dekat dengan Ibukota Negara, merupakan potensi yang strategis bagi perkembangan dan pertumbuhan ekonomi dan jasa, pusat kegiatan nasional untuk industri, perdagangan, transportasi, komunikasi, dan pariwisata. Luas wilayah 11.850 Ha terdiri dari 6 kecamatan, 68 kelurahan.
Itu saja. Aku pernah coba searching nama “Nicky”. Hanya ada satu nama Nicky yang populer, penyanyi rock “Nicky Astria”. Tak ada lagi. Berarti “Nicky”-ku adalah orang kebanyakan. Rakyat biasa. Apa dia perempuan? Aku pikir, iya. Aku bisa merasakannya dari kata-kata yang digunakannya. Pilihan katanya menggelorakan perasaan seorang perempuan.
***
“Ini istana Bogor,“ kata supir taksi. Dia meminggirkan taksinya di dekat trotoar. Sudah ada beberapa mobil berhenti. Aku belum mau turun dari taksi. Gila! Betul kata Grace dan Mama, bahwa kemacetan di kota Jakarta bukan lagi penyakit biasa, tapi sudah seperti kanker. Dari Soekarno-Hatta International Airport ke Bogor memakai waktu hampir tiga jam. Padahal jaraknya tidak lebih dari 70 kilometer. Lewat highway – supir taksi bilang tol Jagorawi – pula! Bagaimana ini?! Aku lihat, volume kendaraan tidak seimbang dengan beban jalan. Aku membaca di rambu-rambu, ada istilah “tree in one”, yang kata supir taksi itu untuk mobil-mobil pribadi. Dari supir taksi yang ramah, aku diberi tahu, bahwa orang-orang Jakarta lebih suka keluar dari rumah memakai mobil pribadi. Jika diandaikan sebuah keluarga mempunyai sepuluh mobil, berarti dari mulai ayah, ibu, anak bahkan sampai pembantu akan keluar memakai mobil masing-masing satu. Si ayah ke kantor, si ibu pergi arisan, si anak ke kampus atau ke sekolah, serta si pembantu pergi belanja untuk keperluan dapur. Untuk menghambat volume kendaraan, akhirnya diterapkanlah “tree in one”, agar mobil-mobil itu berfungsi baik, mengangkut penumpang dalam jumlah yang sesuai dengan bangku yang ada. Tapi, aku diperkenalkan lagi dengan “joki”; orang-orang yang berprofesi sebagai penumpang “tree in one”; untuk mensiasati peraturan itu. Wah, kreatif juga anak-anak negeri leluhurku itu.
“Bagaimana? Mau turun?”
“Sebentar, Pak,” kataku. Mataku melihat ke sekitar. Beberapa kendaraan berwarna hijau – kata supir taksi, itu angkutan umum! – berhenti sembarangan saja. Tidak peduli larangan stop atau malah lebih gila lagi, di tengah jalan! Supir-supir itu pasti tidak berpendidikan! Berhenti menurunkan penumpang di tengah jalan! Tidak di halte! Tubuhku lelah. Di angkasa dua puluh dua jam! Jet lag! Stress! Ingin marah, tak bisa apa-apa. Aku ingin tidur, tapi kepalaku pusing. Huh! Dimana kau, Nicky!
Aku melihat ke sisi kiriku. Pagar tinggi mengelilingi. Nun jauh ditengah-tengah, di antara batang-batang pohon besar, ada sebuah istana. Kata Nicky, itu adalah istana Bogor; tempat presiden pertama negeri leluhurku Ir. Soekarno, beristirahat. Kata Nicky lagi diemailnya, presiden kedua, Soeharto, tidak pernah beristirahat di istana ini. Ada lagi yang membuatku takjub, ratusan binatang bernama rusa dengan tenangnya berkeliaran. Bahkan beberapa ekor rusa menyembul di sela-sela pagar. Aku lihat beberapa keluarga turun dari mobil. Anak-anak mereka mendekati pagar dan memberi rusa-rusa itu makan. Aku jadi ingat email Nicky tentang rusa-rusa ini. Presiden keempat, Gus Dur, sering berpesta rusa di sini.
Aku rogoh saku. Aku beri tip. Supir taksi tampak gembira sekali. Tidak ada lima puluh dollar ongkosnya! Tidak ada masalah. Lalu aku buka pintu. Supir taksi membukakan bagasi. Ransel North Face digeletakkan di trotoar. Aku seret dan merapat ke dinding pagar. Beberapa orang sebayaku melintas. Ransel di punggungnya bermerek sama dengan ranselku. Wah, hebat juga! Aku betul-betul lelah.
Aku coba melihat ke balik pagar. Ratusan rusa bertebaran mengunyah rumput. Di seberang pagar ada sungai pembatas. Bening airnya. Beberapa ekor rusa turun untuk minum. Beberapa lagi menyeberangi sungai dan naik mendekati pagar. Anak-anak dengan tawanya yang riang memberi mereka makan sayuran.
Nicky, dimana? Di email terakhirnya, dia menyuruhku untuk menunggu di depan istana Bogor. Di trotoar. Sambil melihat anak-anak sedang memberi makan pada rusa. Dia akan datang memakai mobil berwarna hijau. Aku lihat tadi, begitu banyak mobil berwarna hijau. Kata supir taksi tadi, itu kendaraan umum. Semua yang ditulis Nicky sama persis dengan yang aku lihat sekarang. Aku lihat jam; pukul dua belas siang! Panas! Tapi tubuhku berkeringat; terasa segar. Sudah dua botol air mineral aku minum habis.
Aku mencoba memetik ranting daun dari pohon trembesi, yang menjuntai. Aku sodorkan lenganku melewati celah pagar. Mulut rusa mengunyahnya. Asyik juga. Di Kansas hal ini tidak pernah aku lakukan. Aku lihat di sebelah kananku seorang gadis dengan wajah ditutup kain – kata Mama itu adalah jilbab, pakaian khas orang yang beragama Islam- sedang membagi-bagikan sayuran pada anak-anak. Gadis itu seumuran Grace, membawa sekantung plastik sayur-sayuran. Walaupun aku hanya bisa melihat sebagian wajahnya, aku merasa pasti bahwa dia cantik sekali. Di belakangnya ada seorang junior high school, juga membagi-bagikan sayuran untuk makanan rusa. Aku yakin, anak kecil itu adik dari gadis berjilbab.
“Mau sayurannya?” tiba-tiba saja gadis berjilbab itu sudah berdiri di depanku.
“For Free?” aku kaget.
Si gadis tersenyum, “Yap! For Free! Gratis alias teu kudu mayar!”
Aku mengernyitkan dahi mendengar kalimat terakhir yang agak aneh di telingaku; gratis dan teu kudu mayar! Gratis, aku tahu. Tapi, “teu kudu mayar?”
“Sama saja artinya, for free!” dia tertawa.
Aku tersenyum, “Thanks!” Aku ambil beberapa ranting.
“Kapan datang?”
Tangan aku tarik lagi. Tapi mulut rusa sudah memakan sayurannya. Aku lepaskan sayuran itu. Aku tatap si gadis berjilbab. “You must be Nicky!” aku merasa surprise.
Dia tertawa.
Aku menyodorkan tangan; bermaksud berjabatan tangan. Tapi, Nicky menyatukan kedua telapak tangannya di dada dan tersenyum. “Selamat datang di kota Bogor,” katanya.
Aku gugup. Dia tidak menjabat tanganku. Apakah aku membawa penyakit menular? Tapi, dari senyumnya, aku yakin Nicky tidak bermaksud menghinaku.
“Pasti capek, ya?” tanyanya.
“Iya. Very tired!”
“Kenalkan, ini adikku,” Nicky mengenalkan anak kecil, yang masih membagi-bagikan sayuran ke anak-anak.
Aku tersenyum pada adiknya. Aku betul-betul kikuk.
“Ayo, kamu check in dulu!”
Aku mengangguk.
“Jalan kaki saja, ya.”
Walaupun aku capai, aku menurut saja. Aku sandang ransel di punggungku. Aku berjalan di sisinya. Tapi Nicky menjaga jarak, tidak mau terlalu dekat. Adik lelakinya berjalan dibelakangku; kesannya mengawal kami. Tapi Nicky asyik-asyik saja.
“Wajahmu nggak bule-bule amat!”
“Papa dan Mama asli Indonesia!”
“Iya juga, ya!”
“Adikmu…, ikut kita?”
“Yap!”
Aku menyeret kakiku, berjarak sekitar dua meter di sebelah Nicky. Kalau berjalan bersama Grace di Kansas, lain sekali. Kami biasa berpelukan. Bahkan berciuman bukanlah sesuatu yang tabu. Tapi, dengan Nicky, yang berjilbab. Aku merasa tidak pantas berjalan di sisinya. Aku jadi serba salah.
“Malu ya, jalan dengan aku?”
“Oh, no, no!” Aku kaget. Aku tidak ingin jauh-jauh datang ke Bogor, mengambang dua puluh dua jam di udara, hanya meributkan soal keyakinan seseorang. Aku sendiri bingung, memeluk agama apa. Papa dan Mamaku tidak pernah menyuruhku untuk memeluk agama apa pun. Aku perhatikan saat lebaran, Papa dan Mama ikut halal bihalal di Konjen. Begitu juga natal dan tahun baru. Agama kami berarti apa saja. Di kampus, hampir kebanyakan agamanya, ilmu pengetahuan.
“Ayo!” Nicky memasuki sebuah rumah tua. “Murah-meriah!”
Aku baca nama hotelnya : Wisma Pakuan – Home stay. Nyaman juga. Tidak berisik. Aku justru menyukai penginapan seperti ini. Terasa seperti sedang di rumah. Sepanjang hidupku, aku selalu berpindah-pindah dari satu apartemen ke apartemen lain. Di Kansas, aku tinggal di asrama, bersama Dave, yang kalau tidur mendengkur! Tak ada aturan apa-apa!
***
Aku berjalan-jalan di Kebun Raya, Bogor. Ini adalah paru-paru kota. Aku suka sekali. Di tengah kebisingan kota dengan keberadaannya yang kacau-balau, ada hutan dengan pohon-pohonnya yang sudah tua. Nicky berjalan disebelahku, agak menjauh seperti biasa. Dan adik lelakinya, berjalan di belakang; mengawal kami.
“Kamu janji siang ini akan mengajakku kerumahmu.”
“Oke!”
“Sudah jam satu!”
“Tapi, aku masih betah di sini! Kebun Raya ini bagiku seperti surga. Aku lupa dengan segala masalah yang ada di kotaku ini.”
“Tapi, kemarin kamu janjinya hari ini.”
“Kenapa kamu begitu ingin kerumahku?”
“Lantas, untuk apa pula aku terbang selama dua puluh dua jam dari Kansas ke sini?”
“Mengisi summer holiday-mu!”
“Aku bosan! Selama dua hari ini hanya melihat rusa Bogormu dan kebun Raya ini! Ditemani adikmu pula!”
“Aku tidak menyuruh kamu ke sini, lho,” Nicky tersenyum. “Kamu yang menginginkan liburan musim panasmu di sini. Aku hanya jadi guide saja.”
Aku duduk di bangku. Meminum air mineral. Angin sepoi menyejukkan hati. Mungkin aku sudah sinting. Jauh-jauh datang ke Bogor dari Kansas, hanya untuk melihat rusa Bogor dan kebun Raya. Tapi, Nicky semakin jadi magnet buatku. Semakin aku ingin pulang ke Kansas, semakin aku tak ingin meninggalkan Bogor. Ada yang kukagumi dari diri Nicky, yaitu keteguhan hatinya. Dia membuatku kagum dan harus menghormati atas segala sikapnya. Dia sama sekali tidak mau aku sentuh, walaupun hanya bersalaman atau untuk aku seberangkan, jika lalu-lintas sedang padat. Zebra cross di sini tidak jadi jaminan orang akan nyaman dan aman menyeberang. Tapi, Nicky lebih memilih meminta tolong adiknya.
Sore hari, dengan naik mobil berwarna hijau, yang ternyata lelucon Nicky, bahwa mobil itu memang angkutan umum, kami sampai di rumah Nicky. Rumahnya ada di bawah, di celah lekukan antara dua bukit. Kota Bogor ini berada di kaki gunung Salak. Rumahnya berhimpitan dengan rumah-rumah yang lain, tapi tidak terasa sesak. Banyak tanaman hias bergantungan dari tiang-tiang rumah. Kecil dan mungil. Halamannya tidak luas, hanya sekitar dua meteran.
“Mana orang tuamu?” tanyaku, karena rumahnya kosong. Hanya ada adiknya saja.
“Ayah dan ibuku sudah tidak ada. Kami hanya hidup berdua,” suaranya riang saja.
Aku terpana, “Kalian hidup berdua?”
“Iya.”
Adiknya muncul membawa dua gelas minuman teh manis panas.
“Bagaimana kalian membiayai hidup?”
“Kami dapat beasiswa. Aku juga nyambi jadi guide. Setiap aku berhasil membawa tamu menginap, aku mendapat komisi.”
Aku tercengang. Aku tak mampu berbuat apa-apa. Pertemuanku dengan Nicky membuatku seperti berada di dunia lain, yang tidak pernah aku rasakan. Ada nilai-nilai yang selama ini aku abaikan. Nilai kemanusiaan yang utuh, yang tak pernah aku rasakan di Kansas, bersama teman-teman di kampusku. Bersama dengan Grace, pacarku. Bahkan bersama Papa dan Mama. Uang begitu mudah aku peroleh dan aku hambur-hamburkan sesuka hati.
Saat pesawat lepas landas dari Soekarno-Hatta International Airport, perasaanku tak bisa aku gambarkan. Sulit untuk aku ceritakan pada kawan-kawanku di Kansas tentang segala yang aku lakukan bersama Nicky. Juga pada Papa dan Mama. Begitu berat meninggalkan Bogor. Begitu berat meninggalkan Nicky. Aku tidak tahu, apakah ini cinta? Ah, terlalu pagi. Yang hanya bisa aku ingat dari Nicky adalah keriangan dan kesederhanaan serta harga dirinya yang tinggi. Begitulah seharusnya seorang wanita, dia harus seperti pualam. Mahal dan tidak bisa sembarangan disentuh.
Diambil dari buku antologi cerpen berjudul “Addicted 2 U” yang diterbitkan oleh Forum Lingkar Pena.
Penulis : Gola Gong
[+/-] |
Plis Dong, Akh.. |
“Assalamu’alaikum, Ukhti!” suara melengking itu spontan membuatku mendongak. Tommy terlihat sumringah saat melihatku.
“Apa kabar nih? Lama nggak ketemu. Jadi kangen!”
Mulutku tercekat. Hari gini dia bilang kangen sama aku? Ugh. Rasanya aku ingin tenggelam ditelan bumi. Masalahnya saat itu aku tidak sendirian. Aku sedang bersama adik mentoringku. Masalahnya lagi, baru lima menit yang lalu aku mengisi mentoring tentang manajemen hati dan sikap. Nah, kalau sekarang aku disapa Tommy seperti itu kan jadi rumit. Bisa-bisa dikira aku punya skandal dengan ikhwan yang satu ini.
“Iya, liburan kemana aja, Ukh? Cerita-cerita dong!” Tommy masih nyerocos tanpa merasa bersalah sama sekali. Sementara itu aku senin-kamis menahan malu sambil menghindari tatapan adik-adik mentorku yang sesekali tersenyum nakal dan berdehem-dehem. Mungkin saat itu mukaku sudah berubah menjadi traffic light, merah kuning hijau. Tapi dia tetap saja cuek dan pasang innocent face.
Tommy adalah teman sekelas SD-ku. Enam tahun sekelas dengan nomor absen berurutan membuat kami lumayan akrab. Sering ngobrol, sering kerja kelompok, sering merancang ide-ide konyol, tapi sering bertengkar juga. Pokoknya dulu bisa dikatakan kami berteman baik deh. Waktu lulus SD, dia pindah ke luar kota. Tidak pernah ada kabar sampai tiba-tiba dia sudah satu jurusan, bahkan sekelas denganku di universitas. Tapi tentu saja semua sudah berubah. Paling tidak sekarang aku sedikit-sedikit juga tahu adab bergaul dengan lawan jenis.
Tapi, entahlah bagaimana dengan Tommy. Dia memang terbuka, suka bergaul, bercanda, dan ngobrol dengan siapa saja. Sepertinya sekarang dia juga sudah cukup paham. Sekarang kami sama-sama bergabung di rohis fakultas. Tommy sering juga ikut kajian umum di fakultas, sering terlihat kumpul bareng ikhwan-ikhwan mushala, sering ikut dalam kepanitiaan SKI, dan juga cukup sering menyebutkan dalil-dalil yang menunjukkan pengetahuan Islamnya cukup terakreditasi. Tapi untuk masalah ’centilnya’ ini, ah entahlah… .
”Kok diem terus sih, Van! Ngomong dong! Ngomong…!” Disuruh ngomong aku malah semakin kikuk. Apa lagi kalau mengingat nada suaranya yang mirip-mirip iklan operator telepon selular yang beberapa waktu lalu sempat populer, ”Ngomong dong, sayang..!” Weeit…!
”Iya, ya, liburanku biasa-biasa aja kok. Pulang cuma seminggu, belum hilang kangennya sama orang rumah. Kemari… nggak jadi deh!” aku nyaris saja keterusan bicara. Tadinya aku mau cerita kalau kemarin aku ketemu sama Dela, teman kami dalam hal gila-gilaan waktu di SD dulu. Wah, kalau tadi aku cerita, pasti obrolan nostalgia SD akan jadi panjang.
”Kemarin kenapa? Cerita dong… aku jadi penasaran nih.”
”Nggak usah, nggak penting kok! Anggap aja tadi aku nggak ngomong apa-apa”
”Uh… dari dulu kamu nggak berubah. Bikin orang penasaran.”
Aku cuma ngiyem mendengarnya.
”Eh, Van, Van. Kamu liat akhwat itu nggak?” Kali ini Tommy mengalihkan pembicaraan. Matanya mengarah pada seorang akhwat yang berbaju abu-abu di seberang. ”Emangnya kenapa?” Aku terpancing ingin tahu.
”Itu tuh, bajunya kok nggak match ya. Liat tuh, bajunya abu-abu, bawahannya hijau, jilbabnya item, eh… tasnya merah. Bagusan kan kalau roknya item dan tasnya apa gitu kek, yang penting jangan merah. Trus kaos kakinya itu lho, kok kuning. Aduh…!” Tommy sok-sok memberikan penilaian bak seorang desainer sambil memukul-mukulkan telapak tangan ke jidatnya. ”Payah ah, penampilannya! Kalau kamu hari ini sudah cukup match kok, Van. Bagus, bagus!” Tommy memandangi sekilas setelan biru yang kupakai.
Aku sudah tidak tahan mendengar komentar-komentarnya tadi. Siapa yang butuh komentar darinya? Kalau saja kami masih jadi anak SD, sudah kutonjok dia dari tadi. Hiiihhh!
”Plis dong, Akh! Penting nggak sih buat kamu? Kasian lagi kalau beliaunya denger kamu ngomongin dia kaya gitu. Bisa kehilangan pede. Lagian harusnya kan antum jaga pandangan dong!” jawabku ketus disertai tampang bete. Khusus kalau sedang bicara dengan Tommy kata-kataku jadi campur aduk, tergantung mood. Kadang pakai istilah akhi, antum, afwan, atau istilah-istilah Arab lain. Tapi kadang juga keluar aku, kamu, kasian deh lu, dan bahasa-bahasa gaul lainnya yang dulu biasa kami pakai.
”Emang nggak boleh ya komentar kaya gitu? Kalau aku malah seneng kalo ada yang ngeritik. Ah, wanita memang susah dimengerti.”
Aku menahan diri untuk tidak berkomentar sambil mengepal-kepalkan telapak tanganku di samping baju. Rasanya darahku sudah mendidih sampai ke otak. Melawan kata-katanya hanya akan memicu perdebatan yang sulit diramalkan endingnya.
”Eh, udah deh, aku pergi dulu ya.”
Tiba-tiba rongga dadaku terasa lega mendengar kalimat terakhirnya itu. Lega.
”Tapi Ukh, sebelumnya tolong liatin muka saya ada tip-exnya nggak?”
Saking gembiranya, aku langsung menuruti persyaratan untuk membuatnya menghilang dari hadapanku. Aku mendongak menatap wajah yang ditumbuhi sehelai jenggot itu. ”Nggak ada, kok,” jawabku.
”Makasih ya, Ukh! Tapi bukannya kita nggak boleh memandang wajah lawan jenis? Sudah ya, wassalamu’alaikum…!”
Tinggal aku yang bengong dan gondok habis. Ugh… kena deh! Awas ya!
***
“Assalamu’alaikum…” Sosok Tommy sudah muncul di depan kostku. Aku celingukan mencari teman yang mungkin dibawanya serta. Nihil.
“Waalaikum salam warah-matullah.. sendirian aja, Tom? Nggak bawa temen?” aku jadi kikuk. Serba salah. Setahuku kalau ada dua orang laki-laki dan perempuan maka ketiganya ada setan. Hiyy. Di sini ada setan dong!
Tommy sudah empat kali berkunjung ke kostku. Aku juga sudah selalu berpesan kalau dia harus mengajak seorang teman biar kami nggak ngobrol berdua. Tapi sampai sekarang dia masih suka nekat datang sendirian. Dan aku juga belum bisa mengusirnya dengan tegas. Nggak tega.
”Afwan, tadi cuma mampir karena habis beli jus dekat sini. Udah bikin tugas analisis konflik dan perdamaian, Ukh?”
”Udah, baru aja selesai.” Aku berusaha menghemat kata-kataku.
”Aku bingung nih, masalahnya gimana sih? Bisa minta tolong dijelasin nggak?”
Pertanyaannya bikin aku garuk-garuk kepala. Memaksaku untuk menjawab panjang lebar. ”Bisa nggak kalo nanya di kampus aja?”
”Tapi aku kan mau ngerjain nanti malem. Besok kita juga nggak ketemu di kampus. Padahal lusa harus dikumpulin.” Suaranya bernada kecewa.
”Emang nggak bisa nanya ke yang lain?!”
”Eh, kok ketus banget sih, Van! Aku kan udah bilang, mampir kesini karena kebetulan habis beli jus di samping kostmu, trus inget kalau ada tugas yang aku nggak ngerti. Jadi sekalian nanya. Malu bertanya sesat di jalan. Kita kan nggak boleh menyembunyikan ilmu yang kita miliki. Ya udah kalau nggak boleh.”
Tiba-tiba hatiku meluluh. Kena jebakan kata-katanya. ”Emang mau nanya apa sih?”
Tommy nyengir. ”Nah, gitu dong!”
Akhirnya terjadilah diskusi kecil kami selama hampir setengah jam.
”Makasih banyak, Vanti! Entar namamu kucantumin di daftar pustaka deh.” Tommy berusaha melucu.
Tapi bagiku yang sudah bete banget jadi tidak lucu sama sekali. Plis dong, Akh!
”Pulang dulu ya. Sampai jumpa. Mimpi indah ya! Bu bye..”
Gleg. ”Kok sampai jumpa sih? Pake bubye pula.”
”Eh, iya, afwan. Assalamu’alaikum…”
”Alaikum salam warahmatullah.”
***
Sepertinya belakangan ini Tommy menjadi sebuah masalah bagiku. Dan entah kenapa banyak kebetulan-kebetulan yang menyebabkan aku harus bersama dengannya. Misalnya pernah waktu jalan tiba-tiba kebetulan dia juga sedang jalan kaki dan tanpa sungkan-sungkan langsung mengajak ngobrol. Waktu beli makan di kantin juga ketemu. Tiga kali ketemu di toko buku. Ke perpustakaan juga ketemu. Di luar kebetulan-kebetulan itu, Tommy juga sering sekali mengirim sms, menelepon, dan menanyakan hal-hal yang sama sekali tidak penting. Suka curi-curi pandang, suka memujiku, dan hal-hal lain yang menurutku sangat menjengkelkan. Rasanya aku ingin beberapa hari cuti jadi orang yang mengenalnya, biar kalau ketemu lagi aku tidak perlu merasa begitu bosan seperti sekarang.
”Jangan-jangan kalian jodoh” Aku hampir tersedak waktu Ika tiba-tiba mengucapkan hal itu. Memecahkan keasyikanku menikmati makan siang di kantin Yu Jum.
”Uhuk… uhuk… hari gini ngomongin jodoh?!” aku buru-buru minum karena tenggorokanku tercekat.
”Emangnya nggak boleh? Kuliah sudah semester lima, umur sudah kepala dua. Kalau memang jodoh kan bisa segera…” Ika cengar-cengir melihatku.
”Astaghfirullah, ngapain sih ngomong kaya gitu, Ka? Jodoh itu rahasia Allah, dengan siapa dan kapan itu rahasia Allah. Nggak usah dipikirin pun toh kalau sudah tiba waktunya akan datang sendiri. Nggak bisa diundur dan nggak bisa dipercepat.”
”Iya, tapi kan kalau memang sudah siap maka makruh hukumnya menunda-nunda pernikahan.” Kali ini Ika mengedip-ngedipkan matanya centil. Membuatku serasa semakin ingin menghilang.
”Yee, siapa yang bilang sudah siap nikah?”
”Lho, kamu belum tahu ya? Tommy kan mau nikah muda! Jadi… jangan-jangan dia sudah punya calon. Siapa tahu…! Inget lho, kalau sudah ketemu jodoh dan mampu, maka makruh hukumnya menunda pernikahan.” Ika kembali bersemangat sekali membuatku jengkel.
”Udah ah… kamu bikin aku kehilangan nafsu makan aja, Ka! Kalau kamu berminat, bungkus deh buat kamu!” Ika hanya terkekeh mendengarnya.
***
Entah kenapa tanpa kusadari, obrolan dengan Ika itu menghantui pikiranku. ”Iya, jangan-jangan, jangan-jangan… oh tidak! Paling hanya aku yang ke-geer-an.
New sms! Handphoneku tiba-tiba mengoceh sendiri.
Ups, dari Tommy!
Vanti yang baik, tolong ya siapin surat izin pinjam tempat buat syura besok. Plizz, you are my only hope =)
Ih, apa-apaan sih ini kok minta tolong saja merayunya sampai maut begini. Nggak menghargai banget, masa ngomong sama akhwat masih tetap gombal-gambel kaya gini sih. Tiba-tiba pikiranku kembali melayang pada perkataan Ika siang tadi. Jangan-jangan…. Kadang sikapnya memang suka aneh sih, suka ngajak ngobrol lama-lama, suka memuji, suka sok kebetulan mampir dengan alasan beli jus. Padahal di dekat kostnya pasti juga ada yang jual jus, ngapain juga jauh-jauh beli jus sampai ke sini. SMS yang model begitu juga bukan barang baru lagi. Ihh.
***
”Hati-hati lho, Van!”
”Kenapa?” alis mataku terangkat refleks.
”Hati-hati lah… sama ikhwan kaya gitu!” tukas Evi, tetangga kamarku.
”Tahu nggak, kemarin Tommy ke sini lagi lho…”
”O ya?” kini mataku yang terbelalak.
”Hati-hati sama hatimu sendiri. Kan kamu sendiri yang bilang apa tuh… witing tresna jalaran suka kulina. Nah, kalau kamu tiba-tiba jadi suka sama dia gara-gara dia sering ke sini gimana?” Evi menatapku serius.
”Apalagi kalian sudah kenal sejak kecil kan?” pertanyaannya semakin menusukku.
”So what gitu lho…”
”Ya silakan ditafsirkan sendiri… aku cuma mengingatkan, setan itu cerdik bin lihai lho…”
Aku manggut-manggut.
”Harus bisa tegas!” tambah Evi lagi.
”Tegas? Maksudnya, kalau dia dateng lagi aku harus apa? Kalau dia sms nggak usah dibales gitu?”
”Iyalah… kalau dia dateng tuh, nggak usah dibukain pintu! Kalau sms nggak usah dibales. Kalau becanda nggak usah diladeni, pokoknya bersikaplah dingin!”
”O… gitu ya?”
***
Ternyata saran Evi cukup jitu. Tommy tidak lagi menjadi masalah bagiku dalam tiga minggu terakhir. Senangnya….
”New sms!”
Kuraih handphoneku.
Tommy!
Ass. Van, tidak saya kira, anti juga bisa bersikap tegas dan cool. Cocok dengan kriteria saya. Jadi, kapan anti siap menikah?
Pliss dong, Akh!
Tiba-tiba mataku memanas. Aku tidak sanggup bernapas lagi.
***
Diambil dari Majalah Annida.
[+/-] |
Be My Valentine |
“Tell me whom you love and
I will tell you who you are
Will you be my valentine?”
Meti meremas secarik kertas tanpa dosa di genggamannya. Tulisan cantiknya yang mengisi ruang kecil lembaran putih itu berkerunyut kusut. Valentine! Valentine! Huh! Kapan dia akan mendapat memo cinta seperti itu dari seorang pangeran impiannya? Seperti Rosa, seperti Pupuy, Lula, atau Sarah. Mereka semua sudah punya pacar dan segudang rencana menjelang hari kemerdekaan cinta, 14 Februari itu. Bahkan, sejak minggu-minggu ini, sebelum angka-angka di kalender Januari menunjuk nilai tertinggi.
Memang, di antara lima sekawan, bukan dia sendiri yang belum punya pacar. Pupuy dan Lula masih sorangan wae dan mereka menikmati kesendirian mereka. Tapi, untuk hari Valentine nanti, mereka sudah punya pasangan untuk teman ngedate di pesta-pesta romantis milik orang-orang yang penuh cinta. Itu istilah mereka. Sementara Meti? Gadis itu melirik sosoknya di kaca etalase toko buku megah itu. Separah apa wajahnya hingga tak ada seorang pun pria berminat padanya? Untuk sehari saja sekalipun. Dada Meti menyesak.
Kotak empat persegi yang dipenuhi kartu-kartu bergambar hati dan merpati berwarna pink di depan pintu utama berjubel pengunjung. Semua hampir gadis-gadis belasan tahun. Meti berjalan menghindar.
“Nah, lho, ketangkap sekarang!”
Jantung Meti berdebam-debam seketika. Menghentak-hentak dadanya. Wajahnya memucat tanpa setetes darah mengisi pembuluh di muka bulatnya itu. Dua gadis semampai berseragam abu-abu putih berdiri di hadapannya. Terkikik dengan tawa khas mereka. Rosa dan Pupuy.
“Mau cari kartu, ya? Bocoran buat bikin janji, ya? Sama siapa? Ronnie?” selidik Pupuy antusias. Cengirannya melatari semua pertanyaan interogasinya itu.
”Wah, iya, pasti Ronnie, nih! Dengar-dengar dia belum ada gandengannya, tuh! Ayo, dong, Met, nanti keduluan orang tahu rasa, lo!” Rosa mengompori.
”Apaan, sih!” tidak tahu kenapa, tapi akhir-akhir ini tensi Meti memang cepat sekali melonjak. Meggelegak berbusa-busa. Persis air mendidih bersuhu seratus derajat celsius yang bisa mematikan kuman-kuman. Terlebih jika itu menyangkut Ronnie.
”Marah, nih, ye! Ingat, lho, valentine gak ada istilah ngomel, musti sayang-sayangan. Termasuk sama temen. Tul, kan, Puy?” Rosa tersenyum dikulum. Sebelah matanya berkedip nakal.
”Valentine apaan, aku nggak ngenal, tuh, budaya barat jelek kayak gitu. Nggak ada manfaatnya lagi,” cetus Meti ketus.
”Siapa bilang jelek? Asyik lagi! Kita bisa bebas mengungkapkan rasa sayang kita pada semua orang tanpa rasa malu atau bersalah. Hari itu, kan hari kasih sayang. Kasih coklat, kasih bunga, pokoknya ungkapan cinta dan nggak ada orang yang berhak melarang,” Rosa bereaksi cepat. Pupuy terkikik di belakangnya. Dua macan di gank mereka sudah siap bertarung. Salah satu harus dilarikan sebelum seisi hutan kocar-kacir dibuatnya.
”Budaya seperti itu, kan, tidak Islami,” sergah Meti.
”Memangnya dalam Islam nggak ada cinta dan kasih sayang, ya?!”
”Nggak. Yang dikatakan dengan coklat bergelatin lemak babi, mawar merah, dan pesta–pesta gala murahan tidak ada!”
”Stop! Sudah, sudah, jangan berkelahi di sini. Kasih sayangnya hilang lagi nanti. Yuk, Ros, kita duluan. Darah tinggi Meti lagi kumat, tuh! Mengalah sajalah, setidaknya untuk hari ini sampai Valentine nanti,”Pupuy menggamit pinggang Rosa. Menariknya meninggalkan Meti yang masih menyimpan kedongkolan di hatinya.
”Sorry, Met!” Pupuy masih menyempatkan menghadiahkan ciuman sekilas di pipi Meti, menimpa sebagian batas kerudung di wajahnya. ”Kita duluan, nih, nggak apa-apa, kan?”
Pupuy yang bijak. Batin Meti. Wasit yang baik dalam komunitas lima makhluk terunik di bumi ini. Tanpanya, tidak akan mungkin mereka utuh sampai hari ini. Pertengkaran demi pertengkaran kerap membayangi persahabatan mereka, terutama karena darah panas Meti yang gampang terpancing. Pupuy yang selalu menengahi. Membawa kesejukan. Membawa perekat untuk mereka berlima.
Dan Rosa, dia yang paling tomboi. Hampir tak ada nilai keperempuanan pada diri anak itu. Tapi anehnya, masih juga ada makhluk bernama cowok yang tertarik pada rambut cepak dan raut keras wajahnya. Meti mendesah. Dia feminin, setidaknya itu yang dia rasa. Berjilbab lagi! Banyak cowok suka perempuan berjilbab. Lebih anggun, lebih beraura, lebih kelihatan suci. Ho … ho … meski itu seharusnya milik mbak-mbak yang jilbabnya menyapu dada dan punggungnya. Meti, sih, ditiup angin saja, ujung jilbabnya berlarian. Membuka sekilas kuduknya yang bersih tak tersentuh matahari. Tapi apapun, Meti tetap berkerudung. Dengan baju full pressed body dan celana cordoray sekalipun. Atau jangan-jangan selembar kain di kepalanya itu yang membentenginya dari tangan laki-laki. Tidak ada yang mau dengannya? Tidak laku? Hiii ….
Membayangkan semua itu Meti bergidik sendiri. Benarkah? Bisa saja Ronnie tidak suka dengan perempuan berkerudung. Lebih suka gadis-gadis yang berambut indah terurai seperti bintang iklan sampo di televisi. Lho, kok, Ronnie? Meti menangkap kembali hatinya yang mulai melangkah pergi lagi. Ya, kenapa Ronnie?
Entahlah, namun bulan-bulan terakhir jantung Meti selalu berdegup sepuluh kali lebih kencang jika mengingat makhluk yang satu itu. Apa lagi mendengar namanya di sebut. Apa lagi bersirobok dengannya. Seperti udang yang dicelupkan ke air mendidih, pasti. Merah padam. Tanda-tanda apa? Benarkah dia naksir Ronnie, seperti kata sebuah majalah remaja yang kerap dia baca? Suka curi pandang, suka ngomongin, gampang panas dingin, corat-coret namanya di mana-mana, ngelamunin, salah omong, juga jadi manusia paling majnun di dunia. Duhai ….
”Cinta itu fitrah manusia, namun kita harus bisa menempatkannya pada suatu keadaan yang dilegalkan Allah. Islam telah mengatur semua itu. Memberinya kemudahan dengan pernikahan …” Tidak sama persis kalimatnya, namun Meti ingat, pernah membacanya di sebuah situs Islam lokal. Menikah? Tidak boleh pacaran sebelumnya? Nggak ku … ku …!
Gedubrak!
Meti mengelus jidatnya. Senyum sipunya mengembang. Lebih mirip meringis sebenarnya. Etalase buku ditabraknya dengan sukses.
”Nggak apa-apa, Mbak?” seorang gadis pramuniaga menghampirinya.
”Oh, ehm, nggak!” Meti tergagap. Tangannya masih memegangi jidatnya. Lumayan sekali.
”Nggak sakit?”
Meti menggeleng, ”Maaf, ya, saya benar-benar nggak sengaja.”
Dengan malu-malu, diiringi tatapan beberapa pengunjung, Meti berlalu. Menghampiri eskalator dan menaikinya hingga lantai dua.
***
”Satu kelompok dengan Ronnie?” batin Meti sambil memandangi selembar kertas berisi daftar nama kelompok-kelompok praktikum biologi minggu depan.
”Nah, tertangkap!” Rosa menepuk dua bahu Meti sekeras-kerasnya. Matanya segera bergabung pada lembaran kertas di tangan Meti.
”Satu kelompok dengan Ronnie, ck, ck, boleh juga!” decaknya ketika menemukan nama Ronnie terpampang sebagai ketua kelompok Meti. ”Hoi, girls, Meti gabung dengan Ronnie!” teriaknya sadis kepada teman-teman lain.
Ronnie yang tengah menulis di bangkunya mendongak. Meti memerah. Sedetik kemudian memutih kapas. Lesu. Jantungnya kumat lagi. Terlebih melihat Ronnie ada disitu.
”Jadi valentinan?” tanya Lula yang memang sedikit gagap daya tangkapnya.
”Iya,” angguk Rosa tanpa memedulikan keadaan Meti yang nyaris pingsan.
Meti tiba-tiba menemukan satu mata pedang menusuk hatinya. Kilat mata milik Ranti yang duduk di deretan paling depan. Satu-satunya gadis berjilbab lebar di kelasnya. Yang paling getol mengajaknya ngaji setiap Jumat siang di musala sekolah. Dia ibarat malaikat yang selalu mengawasi gerak-gerik Meti. Menegurnya tanpa segan-segan. Dan Meti tidak suka itu. Sok tahu.
Dengan sedikit menata hatinya, Meti pergi menjauh. Ini jalan yang terbaik sebelum pertengkaran terjadi. Di depan malaikat Ranti dan di depan si Romeo Ronnie, Meti tak mau merusak imejnya. Jaim sedikit untuk kemaslahatan yang lebih banyak.
Di sudut sekolah, Meti meluruskan punggungnya. Memeluk kedua lututnya. Ronnie bahkan tak bereaksi tadi. Sebegitu parahkah aku? Keluhnya. Tanggal empat belas sudah di depan mata. Anak-anak gaul kelasnya sudah ribut. Dan apakah Meti akan merana sendirian di kamarnya, pada hari penuh makna itu? Meti menatap bayangannya yang jatuh di antara kerikil-kerikil putih yang tertata rapi di hadapannya. Selembar daun flamboyan kering terbang bebas di udara dicerabut angin dari tangkainya. Merana. Meti mendesah.
***
”Legenda lain bercerita tentang seorang pendeta Katholik dari abad III bernama Valentinus yang dijebloskan ke penjara dan dihukum mati oleh Kaisar Claudius karena ingin menyebarkan agamanya. Selama di penjara, Valentinus tetap memegang teguh imannya dan diceritakan bersahabat dengan putri sipir penjara. Ketika akhirnya Kaisar menghukum mati Valentinus pada 14 Februari 269, ia menulis surat bertuliskan from your valentine kepada anak sipir penjara sebagai tanda mata terakhir.
Seiring dengan berjalannya waktu, cerita tentang Valentine ini berkembang dalam berbagai versi. Namun orang biasanya lebih memfokuskan pada kisah romantis di belakangnya. Ada yang mengatakan bahwa Valentine sesungguhnya jatuh cinta pada anak sipir penjara itu, dan surat yang diberikannya sebagai tanda mata terakhir merupakan awal dari tradisi menulis surat cinta di antara pasangan kekasih …”
Meti menggarisbawahi kata-kata seorang pendeta Katholik pada artikel sebuah majalah remaja di tangannya. Bibirnya mengerucut. Shiba, boneka beruang birunya, dihempaskan begitu saja ke lantai.
Meti tahu cerita itu dari dahulu. Hafal di luar kepala bahkan. Versi Romawi, Prancis, Inggris, Wales, Itali, Jerman, Amerika Utara, bahkan sampai cerita gadis penenun di Cina. Dia juga tahu, itu bukan tradisi Islam. Tapi jika cinta menghampiri, siapa yang kuasa mengelaknya? Semua temannya mengharap valentine tiba. Mengungkapkan rasa cintanya pada pujaan mereka. Bahkan lebih luas lagi.
”Nggak harus kekasih, pada bonyok, adik, kakak, saudara, bahkan si bibi atau mamang sopir bisa saja diungkapkan. Pokoknya hari itu harus full senyum, deh!” kata Pupuy dengan bijaknya.
Meti tersenyum. Dia sudah membacanya di majalah remaja khusus cewek edisi valentine yang terbit minggu ini. Semua yang berbau perayaan pink itu dikupas habis. Tips mau kencan, kado-kado istimewa, baju-baju yang cocok, wah, komplet.
”Met, ada telepon, tuh!” panggil Mamah dari ruang tengah. Telepon? Sepertinya tadi dia tidak mendengar deringnya. Meti kian pusing. Mengapa jadi begini? Dia melihat sekilas kalender di atas rak bukunya. Tanggal sebelas Februari.
”Makasih, Mah!” seru Meti sambil mengangkat gagang telepon.
”Ranti,” jelas Mamah tanpa ditanya.
Meti berubah. Mengganti nada bicara yang sudah di ujung lidahnya. Tadi, dia sangat berharap, semoga saja yang meneleponnya … Ronnie!
”Meti, bisa bantu kami nggak, buat ngurusin diskusi khusus bulan ini? Kebetulan kami lagi kekurangan orang di kepanitiaan, nih!” kata Ranti setelah berucap salam.
”Kapan?”
”Tanggal empat belas, dari asar sampai ba’da magrib.”
Tanggal empat belas? Pesta Valentinan gengnya.
”Bisa, ya? Soalnya kami benar-benar butuh orang. Diskusi kali ini rada spesial, pembicaranya saja Ustad Zakaria yang ngetop itu,” pinta Ranti penuh harap.
Meti menggaruk kepalanya. ”Aku nggak yakin, sih, tapi nanti aku usahain!”
Malas, Meti menutup teleponnya. Ke musala atau gabung dengan teman-temannya, ya? Kalau gabung dengan Pupuy cs bisa-bisa dia dicengin habis, jika hadir tanpa pasangan. Biarpun mereka membolehkan datang dengan saudara, tapi malu, dong, sementara mereka semua dengan pangeran masing-masing. Jangan-jangan dikira nggak laku!
***
Ini hari termemuakkan bagi Meti, sebenarnya. Hari-hari yang panjang telah dia lewati dengan penuh kecemasan dan kebimbangan. Ronnie tidak pernah bercakap dengannya kecuali saat praktikum biologi di lab. Sedikitpun tak ada harapan baginya. Segalanya terasa gelap.
Ah! Meti nyaris tak percaya melihat daftar surat yang ada di inbox-nya. Ya, internet obat stres paling mujarab untuk Meti. Dia bisa bermain ke mana saja dia suka.
Ronnie Alam Bhuana. Meti mengucek matanya. Nggak salah? Segera dibukanya surat berisi bom waktu yang siap meledakkan dadanya itu.
Singkat. Pendek saja isinya.
Tell me whom you love and
I will tell you who you are
Will you be my valentine?
Ronnie
Napas Meti memburu. Tidak salahkan penglihatannya? Pangerannya telah datang di saat-saat kritis hampir menjelang. Sesaat jemarinya bergetar. Lupa untuk me-replay surat bersejarah ini. Angannya bermain-main di atas langit-langit kamar. Baju apa yang akan dia kenakan? Memakai lipstikkah? Parfum apa yang cocok? Semuanya berputar dalam kerut merut otaknya. Dan mestikah dia mengenakan jilbabnya? Angan Meti terbanting membentur dinding. Ya, bagaimana dengan jilbabnya?
***
Meti berputar sekali lagi di depan cermin. Kulot merah tua, gamis selutut warna pink yang manis dihias renda-renda di ujung lengan dan ujung bawah, juga jilbab mungil warna senada yang dipasang gaya. Bibirnya disapu usapan tipis lipstik merah muda. Meti tampak berbeda. Dia tersenyum. Baru dia sadari kini, sebenarnya dia memiliki sisi kecantikan yang selama ini tersembunyi.
”Duh, yang mau valentinan …!” ledek Mamah ketika Meti keluar dari pintu kamar. Gadis itu tersipu, ”Jangan sampai malam, ya, Met.”
”Oke, deh!” sahut Meti mantap.
Dia menatap jam yang terpasang di dinding. Hampir setengah empat. Ronnie berjanji menjemputnya tepat setengah empat.
”Tuh, kan, Met, meski pakai jilbab kamu tetap bisa tampil gaya dan mengikuti tren,” cetus Mamah yang menjajari Meti. Dulu Mamahlah yang mendorong Meti untuk berjilbab. Katanya, nenek ingin cucu perempuan satu-satunya berkerudung setelah akil baligh. Maklum, kakek dan nenek kan, Haji! Mamah sendiri kalau pergi biasanya berkerudung. Kerudung gaya.
Hampir jam empat. Meti mulai gelisah. Masa, sih, kencan pertama telat. Nggak punya sopan santun.
Telepon berdering. Meti nyaris melompat menyambar gagang telepon warna hitam itu.
”Apa?!” dia nyaris tak percaya.
Wajahnya berubah.
“Baik, nggak apa-apa, kok. Bye!” Meti menutup telepon.
Mamah yang memperhatikan semua itu menatapnya heran.
Meti melangkah gontai ke kamarnya.
”Ada apa, Met?” kejar Mamah.
”Pestanya batal,” sahut Meti ketus.
”Lho?!”
”Ronnie lupa kalau hari ini dia punya acara dengan keluarganya.”
”Kok gitu?”
”Udah, ah, Mah. Meti mau tidur aja,” Meti merajuk. Hatinya hancur berkeping-keping. Yah, ternyata dia memang tidak berharga. Nggak ada orang yang cinta sama dia. Karena dia buruk rupa, karena dia berat badannya empat kilo lebih banyak dari bobot idealnya. Meti memperkuat bendungan air di matanya. Dia tidak mau menangis di depan Mamah.
Meti meremas-remas Shiba hingga bulu-bulunya berantakan. Tak peduli baru di-laundry dua hari lalu. Air matanya berlelehan membasahi pipinya yang tersapu bedak. Bayang daun-daun palem di luar jendela melindunginya dari sinar hangat matahari sore.
Menit demi menit berlalu. Tiba-tiba dia teringat sesuatu. Diliriknya weker di atas meja sekilas. Tergesa, disambarnya tas di sampingnya. Setengah berlari dia melintasi ruang tengah.
”Mau ke mana, Met?” tanya Mamah yang tengah membaca di sofa.
Meti tidak melihatnya, ”Valentinan!” sahutnya.
”Katanya tadi?” Mamah mengernyitkan keningnya.
”Di musala sekolah ada diskusi tentang valentine, Mah,” jelas Meti,”Daripada di rumah, bete.”
Mungkin diskusi telah dimulai, tapi terlambat sedikit tidak apa-apa daripada tidak sama sekali. Meti membuka pintu taksi dengan hati lapang. Ke mana dia selama ini, ya Allah? Meti tahu, belum sepantasnya dia mencintai manusia sebelum dia mampu mencintai Allah dengan seluruh jiwanya. Dia bersyukur Ronnie tak datang. Setidaknya dia masih diingatkan setelah selama ini terbuai dengan kehidupan yang ditawarkan sahabat-sahabatnya.
Lampu merah menghadang laju taksi yang ditumpangi Meti. Jalanan sore tak pernah sepi dari macet. Tiba-tiba Meti tersenyum. Hidup itu seperti jalan raya, harus taat peraturan jika ingin selamat. Coba saja jika lampu merah diterobos, bisa hancur tubuhnya diserbu ratusan mobil yang tengah melintas juga.
Dia ingat Pupuy, Rosa, Lula, yang harus dia tinggalkan. Ya, harus. Namun, suatu saat Meti berjanji akan kembali. Karena, dia mencintai mereka dan dia ingin berbagi dengan mereka tentang makna sebuah cinta yang lebih berharga dari sebatang coklat. Cinta pada Allah. Pada-Nya kita takkan kecewa.
***
Diambil dari buku kumpulan cerita berjudul ”Kidung Kupu-Kupu Putih”.
karya El-Syifa.
[+/-] |
I Love U SoMad.. |
SUER.
Somad bukan cowok yang masuk itungan. Di kelas 2 IPS 3 nyaris nggak dianggap. Orangnya lugu. Potongan rambutnya seadanya. Jangan-jangan dia motong rambut sendiri lagi? Pokoknya out of date banget, deh!
Tapi anehnya kok ya aku nggak bisa menghilangkan bayangan Somad begitu aja. Aneh bin ajaib. Apa dia punya ilmu pelet sehingga aku jadi sering merhatiin dia?
Eh, tapinya terus terang aku merhatiin cowok lugu itu diam-diam, karena kalo sampai ketahuan wah, bisa gempar sekolah ini! Bahkan seluruh sekolah di selatan Jakarta ini.
Bayangin aja, aku kan pernah jadi finalis cogirl, terus pernah ikutan syuting sinetron, ya meskipun perannya nggak banyak tapi wajahku bisa dijadikan patokan kalo aku ini lumayan kece… bur got! Hehehe.
Tapi suer, makanya jangan heran kalo banyak anak cowok berkelas di sekolah ini yang ngejar-ngejar aku. Tapi ya itu tadi, kenapa aku malah sering-sering merhatiin Somad, seeh? Aneh!
***
SUMPE LUH!
Orang nggak percaya kali ya kalo aku nggak pengin pacaran dulu! Aku bahkan berani bersumpah nggak bakal pacaran selagi SMA! Makanya aku sama sohibku, yang namanya Ririn, jadi klop banget.
Tapi… ya itu tadi, sumpah anak ABG, boleh dibilang cuma jadi sumpah-sumpahan aja. Begitu juga dengan Ririn. Waktu kelas satu, menjelang naik-naikan kelas dua, ada anak cowok kelas tiga yang emang udah kesohor di sekolahan, namanya Jacko. Aslinya sih Joko Sutanto, tapi lama kelamaan berubah menjadi Jacko!
Si Jacko ini kalo dibandingin sama Somad kaya siang dan malam. Yang jelas Jacko ini anak orang kaya, ke sekolah boil-nya gonta-ganti. Emang, sih, kendaraan itu semua punya bokap-nya tapi paling nggak kan nanti-nantinya bakal nurun juga ke dia. Yang jelas semua cewek bertekuk lutut, deh!
Termasuk diriku yang sebelumnya pernah bersumpah nggak mau pacaran. Bahkan aku ama Ririn sepakat nggak bakalan kecantol ama si Jacko yang udah ketahuan sering jalan ama cewek-cewek, baik dari sekolah ini maupun dari sekolah lain!
Awalnya memang Ririn duluan yang luluh, ketika dia didekati Jacko dan katanya Jacko suka ama dia dan ujung-ujungnya Ririn pun nggak berkutik. Aku juga kaget.
“Jadi lo jadian ama dia?”
Ririn ngangguk. Waduh.
“Kok bisa?”
“Enggak tau, aku sebetulnya udah nolak, tapi dia mendesak terus dan akhirnya aku juga nggak bisa apa-apa…”
Ya, amplop!
Lama kelamaan aku juga suka merhatiin Jacko yang kalo dilihatin emang cakep, ibunya Jawa dan bokap-nya turunan Portugis. Jadi, biar Jawa tapi rada bule-bule gitu.
Eh, ini dia yang bikin runyem, karena tiba-tiba Jacko juga bilang suka sama aku.
“Eh, bukannya kamu sudah jadian sama Ririn?” tanyaku heran, tapi senang.
“Kayanya kami nggak cocok,” jawab Jacko, pendek.
“Tapi nggak bisa, aku nggak mau pacaran dulu…”
“Lho, kita nggak pacaran, cuma bersahabat aja kok. Kalo aku mau curhat ada yang mau dengerin, kalo aku mau jalan ada yang nemenin. Itu aja kok.”
“Eh, ya kalo begitu….”
Dan ternyata mereka bukannya nggak cocok lagi, tapi Jacko telah berhasil menduakan kami! Benar-benar brengsek! Bayangin aja, aku dan Ririn dijadiin ceweknya sekaligus!
Tentu saja hubunganku dengan Ririn jadi renggang. Karena entah kenapa, aku jadi berusaha untuk bisa menguasai Jacko sepenuhnya.
“Aku nggak mau kamu lepas dari diriku…,” kataku. “Dan aku nggak mau kamu curhat ke orang lain!”
Ternyata begitu juga dengan Ririn yang sudah jatuh cinta banget sama Jacko.
Hm, ternyata Jacko bagi kita berdua adalah first love, sedangkan bagi Jacko, nggak taulah…!
Dan malapetaka mulai terjadi ketika Jacko mulai kecantol cewek lain. Aku dan Ririn mulai jarang dapat perhatian lagi. Bahkan Ririn terkadang suka nekat melabrak Jacko, tapi itu tidak membuat Jacko kapok. Akibatnya Ririn jadi gampang frustasi.
Aku juga jadi lunglai.
Yang bikin aku kaget adalah ketika aku dengar Ririn katanya sudah pernah menginap di hotel barengan Jacko. Astagfirullah!
Dan ujung-ujungnya Ririn mulai mudah termenung. Aku sering memperhatikannya, dan besoknya aku dapat informasi lagi kalo Ririn sudah mulai merokok! Ya, Allah!
***
BENERAN!
Ririn sohibku yang baik. Aku tahu karakter dia. Kenapa dia bisa berubah seperti itu?
Aku berusaha gentle. Aku mendatangi Ririn yang sebelumnya sudah menutup buku denganku. Karena aku sudah mendengar berita Ririn sering bolos, aku dekati Ririn untuk memulai hari baru dan melupakan masa lalu bersama cowok brengsek itu.
Ririn membuka tangannya.”nanti gue tunggu di kantin.”
Aku kaget melihat Ririn menantiku sambil menghisap batang sigaret.
“Elo sekarang merokok, Rin?” tanyaku, terperangah.
Ririn tersenyum.
Seseorang membisikkanku di telinga, katanya Ririn juga sudah mulai mengonsumsi obat-obatan terlarang.
“Kenapa sih lo?” tanyaku betul-betul kaget.
“Gue kecewa?” kata Ririn sambil mengebulkan asap rokok dari mulutnya. “Dia ngebohongin gue!”
“Tapi kan dia ngebohongin gua juga? Bahkan mungkin telah menipu beberapa cewek lain!”
“Iya, gua tau, maka dari itu sebetulnya gue tuh kecewa bukan cuma ama dia aja, tapi ama semuanya! Ya, ama diri gue juga, kenapa kok udah tau cowok kayak begitu masih saja gue terima! Lo tau kan, kita udah sepakat nggak bakal melirik dia, eh malah kita berdua jadi korbannya! Akibatnya hubungan kita jadi berantakan, bahkan musuhan segala!”
“Iya, ya. Kenapa kita jadi bego begini?” aku geleng-geleng kepala.
“Terkadang yang sekarang gue pikirin cuma satu, gue pengin mati aja!”
“Eh, gila lo ye. Jangan gitu, dong! Lo harus tegar!”
“Gue malu. Maluuu banget! Gue pengin pindah sekolah, tapi nggak mungkin. Pasti nyokap gue nggak setuju dan dia bakalan tau kondisi anaknya yang udah menjadi kacau seperti ini!”
“Tenang Rin, lo harus tenang…!”
Sejak saat itu, kantin pojokan jadi tempat favorit buat kami berkeluh-kesah, dan gobloknya lagi, kok aku jadi ikut-ikutan merokok juga!
“Bisa buat ngusir stres, nih.”
“Masa, sih?”
“Coba aja.”
Kami mencari tempat paling pojok dan ngerokok di sana. Dan anehnya tempat itu jadi tempat berkumpulnya orang-orang frustasi. Malahan sebagian anak menjuluki beberapa anak yang suka berada di tempat itu sebagai korban Jack-gatte!
Yang jelas, benar kata pepatah yang mengatakan; kalo main api, kepanasan, kalo main air, kebasahan. Begitu juga kalo kita banyak ngobrol sama anak-anak nggak benar. Nggak usah nunggu lama, deh, yang namanya rokok, ganja, obat-obatan, shabu, putau, dan lainnya jadi nggak asing lagi. Begitu juga dengan kami berdua, yang tadinya cuma dengar-dengar aja, nggak tahu kenapa jadi enteng aja untuk mencoba itu semua!
Tiap pulang sekolah, kami berdua janjian untuk menikmati obat-obatan terlarang. Rumah Ririn sering kosong. Nyokap-nya yang single parent itu banyak bisnisnya.
“Eh, bener, stres jadi ilang!” kataku.
“Bukan cuma stres yang ilang, pikiran kita juga bisa ilang!” saut Ririn sambil nyengir.
Kami berdua memang sudah bisa melupakan Jacko yang handsome dan selalu ‘tepe’ (tebar pesona) itu. Tapi kok sekarang jadi nggak bisa ngelupain obat-obatan? Hampir tiap hari pasti ada aja yang nawarin ke kami.
“Mau nggak lo? Gratis, nih! Yang penting lo hepi gue hepi!”
Sampai kemudian Ririn sakit dan dibawa ke dokter oleh mamahnya. Dan mamanya marah banget begitu tau kalo anaknya jadi pecandu. Bahkan mamanya akan memindahkan Ririn ke sekolah lain dan mencap sekolah itu menjadi sekolah buruk!
Padahal sekolahan sih tetap baik, tapi anaknya aja yang lagi nggak benar. Dan lebih buruk lagi, adalah ketika Mama Ririn menuduhku sebagai biang keladi dari perubahan karakter Ririn! Aku kaget sekali, dan kaget lagi ketika Mama Ririn juga mengancam akan lapor pada polisi.
“Awas kalo kamu mendekati Ririn lagi!”
Duh, aku menjadi takut. Gimana kalo aku diperiksa, disuruh tes urin, terus ketahuan aku juga pernah mengonsumsi benda-benda terlarang, dan kemudian ditangkap di penjara? Hiiih, bulu kudukku berdiri!
Aku langsung bertekad untuk tidak lagi mengonsumsi barang-barang itu, tapi anehnya susah banget. Biarpun Ririn sudah nggak ada, aku masih saja dapat jatah dari beberapa anak kelas tiga yang memang suka menawarkan benda-benda itu di sekolah.
Sampai akhirnya Mama Ririn betul-betul memanggil pihak berwajib untuk memeriksa teman-teman dekat Ririn, dan aku yang kebetulan membawa satu sachet obat terlarang, sangat ketakutan.
Keringat dingin langsung keluar. Kebetulan Mama Ririn datang pas jam istirahat, sehingga aku bisa sembunyi di kamar mandi, lalu mengunci pintunya dari dalam.
Tadinya aku ingin membuang saja obat-obat itu ke dalam kloset, tapi aku merasa sayang dan akhirnya aku minum semuanya! Dan apa yang terjadi sodara-sodara, aku langsung OD (over dosis)! Aku pun terkapar dengan mulut berbusa di kamar mandi!
***
HONESTLY.
Pagi itu Somad seperti biasa datang pagi-pagi. Aku kebetulan memang sudah ada di situ. Dan biarpun dia langsung mengeluarkan buku catatannya dan menulis-nuliskan sesuatu, aku senang mencuri-curi pandang kepadanya, yach meskipun dia juga nggak membalas pandanganku …, aku sih cuek aja.
Jujur aja, kalo dilirik orang sih aku sering, tapi melirik orang jarang-jarang lho. Seperti sudah aku bilang, kepada Somad kok jadi lain? Tapi aku tetap nggak berani bilang ke siapa-siapa kalo aku sekarang mulai senang melempar lirikan ke Somad.
Ya, akhirnya aku memang suka sama Somad. Dia seperti batu karang di tengah lautan yang tidak terpengaruh oleh ombak besar. Dia tetap sama menjadi out of date diantara kemoderenan yang hadir menggelora di tengah-tengah sekolahku.
Dia tetap saja suka ke musala, mengerjakan salat, atau kemudian bikin acara-acara keagamaan meski seringkali diejek dan tidak diminati sama sekali. The Somad must go on!
Pernah dia bikin acara di tengah lapangan basket, tapi kelihatan yang sibuk cuma panitianya aja, yang datang juga mereka-mereka aja, tapi aku lihat Somad tetap semangat!
Beda waktu Jacko bikin acara musik, wah, satu lapangan penuh! Satu sekolahan ikut membantu! Dan anehnya Somad waktu itu, nggak terpengaruh, tuh! Dia terus saja ke musala! Diam-diam aku salut padanya.
Dan rasanya sikap seperti itu harus aku tiru biar aku juga punya ketegaran yang kuat!
Ada keinganku untuk bergaul dengan Somad, tapi anehnya kok ya nggak berani. Aku ingin bergaul dengan komunitasnya, tapi kok merasa malu? Apalagi sekarang, udah jelas nggak bisa!
Terkadang aku juga memperhatikan Jacko yang masih aja nggak berubah. Dia punya gank yang terdiri dari cowok dan cewek keren. Aku, meskipun pernah jadi pacarnya, nggak pernah disapanya lagi.
Aku dianggapnya sebagai lalat yang pernah hinggap di pundaknya yang dengan mudahnya ia usir begitu saja. Luar biasanya, kenapa bisa ada manusia seperti itu? Dan bodohnya lagi, kenapa aku juga mau menjadi seekor ‘lalat’?
Kini aku hanya bisa sendiri memperhatikan itu semua. Ririn sudah tidak ada lagi. Entah sekolah di mana dia sekarang. Tapi aku berharap dia sudah berubah, menjadi Ririn yang dulu lagi.
ALHAMDULILLAH.
Bel pulang berdentang. Anak-anak pun pulang.
Aku lihat Somad juga siap berkemas. Aku memperhatikannya sampai dia keluar pintu kelas.
Sekolah mulai sepi. Aku tetap sendiri di sini. Aku tidak bisa ke mana-mana, entahlah kenapa tempat itu menjadi melekat olehku. Aku dengar dia ingin mengumpulkan siswa yang sering ke musala untuk menyumbangkan sebuah doa … entah untuk siapa?
Tapi katanya untukku? Masa, sih? Mereka mau berdoa untukku? Oh, luar biasa, aku jadi semakin sayang sekali pada Somad. Sungguh, I Love You Somad, I Love You Su Much!
Aku janji, seandainya saja mereka mengetahui bahwa aku mulai sering memperhatikan Somad, aku tidak akan malu lagi, dan aku berharap bisa bergaul sama sahabat-sahabatnya, tapi sayang kini aku sudah…ah, aku tak kuasa … menceritakan ini semua pada kalian…
Yang teringat olehku hanyalah ketika terkapar di kamar mandi itu, aku melihat samar-samar pintu dibuka paksa, dan aku lihat Somad masuk, sementara aku melihat yang lain berteriak, berlari dan menjauh, sementara Somad berusaha menggotongku ke ruang UKS.
Somad berusaha menyadarkanku, tapi rupanya obat yang aku telan terlalu banyak dan akhirnya …. Oh, entahlah apa yang akan terjadi selanjutnya pada diriku di alam kehidupan lain yang hingga kini masih gamang aku jalani….
Oh, Tuhan bisakah dosaku Kau maafkan?
Penulis : Boim Lebon